KAJIAN TAFSIR TEMATIK JQH IAIN SALATIGA
KAJIAN
TAFSIR TEMATIK
“Pernikahan Dini dan Pengaruhnya Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga”
Selama pandemi Covid-19, angka pernikahan dini di Indonesia meningkat drastis. Menurut data bukadata.co.id, permohonan dispensasi menikah melonjak dari 23.700 pemohon pada tahun 2019, menjadi 34.00 pemohon pada tahun 2020. Sebelumnya, pemerintah hanya mengatur batas usia minimal perempuan menikah, yakni 16 tahun. Aturan tersebut tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Kemudian dua tahun lalu UU tersebut direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019. Adapun dalam aturan baru tersebut menyebut bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, baik untuk perempuan maupun laki-laki.
Ada banyak faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini, seperti persoalan ekonomi keluarga, minimnya edukasi pernikahan dini, menghindari kehamilan di luar nikah, norma sosial dan budaya, dan sebagainya. Namun bagaimana tinjauan Islam terhadap pernikahan dini?
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk berpasangan, sebagaimana firman Alah dalam surah Adz-Dzariyat ayat 49 bahwasanya Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Sehingga dalam hal ini mendambakan pasangan merupakan salah satu bentuk fitrah manusia. Pernikahan bagi manusia sangat penting, karena dengan pernikahan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial. Seseorang dengan melangsungkan sebuah perkawinan maka semua kebutuhan biologisnya akan terpenuhi. Kematangan emosi dan kedewasaan merupakan aspek sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinanya.[1]
Secara tekstual
dalam al-Qur’an pernikahan dini memang tidak langsung disebutkan. Tetapi
jika kita berbicara tentang pernikahan dini, pertimbangan akhirnya nanti
adalah antara menjadi maslahah atau justru mendatangkan madhorot.
Maka ketika hendak memutuskan untuk melangsungkan pernikahan dini, harus benar-benar
dipertimbangkan apakah lebih banyak maslahah atau justru madhorot-nya.
Salah satu ayat al-Qur’an yang berbicara tentang
hubungan pernikahan adalah surah Ar-rum ayat 21:
وَمِنْ
اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا
اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ
لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١ ( الرّوم/30: 21)
Artinya: “Di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari
(jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di
antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
(Ar-Rum/30:21)
Dari ayat tersebut telah jelas bahwasanya Allah
menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dan maksud dari lafal “min anfusikum”
dalam ayat tersebut adalah bani adam. Kemudian tujuan utama dari adanya
pernikahan adalah terciptanya Sakinah atau ketentraman jiwa, sebagaimana
yang termaktub juga dalam firman Allah surah Al-A’raf ayat 189.
Selanjutnya hubungan pernikahan akan memberikan rasa Mawaddah dan rohmah
antara suami dan istri. Mawaddah adalah cinta yang bersifat fisik
seperti cinta
akan materi, kecantikan rupa, pangkat, jabatan dan hal-hal yang berhubungan
dengan fisik (dhohir), sedangkan rohmah adalah cinta
non-fisik yang tak
memandang rupa, walau pasangan tak berada dirumah ia akan tetap setia, meskipun
ia sudah tak lagi muda dan kulit mulai keriput karena lanjut usia rasa cinta
tidak akan pudar olehnya. Ada yang berpendapat bahwa maksud Mawaddah dan
rohmah adalah kasih sayang hati mereka satu sama lain. Semua itu adalah
tanda keagungan Allah dan kuasa-Nya bagi orang-orang yang berpikir.
Oleh karena itu, tujuan dari pernikahan adalah ketika
orang itu mendapatkan Sakinah, maksudnya dalam kehidupan berumah tangga
orang tersebut mendapatkan ketenangan, kenyamanan dan kedamaian, baik itu
pernikahan usia dini maupun pernikahan usia matang. Namun hal tersebut sulit
terwujud dalam pernikahan usia dini, karena untuk mewujudkan keluarga Sakinah
ada instrumen-instrumen yang harus dipenuhi, misalnya adalah kesiapan
fisik, psikis, finansial, dan sebagainya.
Orang yang melakukan pernikahan dini akan menimbulkan
banyak efek kesehatan, misalnya meningkatkan resiko keguguran, kelahiran tidak
normal, stunting, dll. Pernikahan dini juga bisa mengganggu secara
psikologis, karena anak dinilai belum memiliki kematangan emosional, dapat
menyebabkan trauma dan gangguan kepercayaan diri, depresi, dll. Dari segi
kesiapan finansial juga harus diperhatikan karena masalah perekonomian keluarga
merupakan salah satu sumber ketidakharmonisan keluarga. Sakinah yang
menjadi tujuan pernikahan akan tergerus oleh ketidaksiapan unsur-unsur
tersebut. Tentu ini sangat mengganggu keberlangsungan pernikahan, dan bahkan
dapat menyebabkan perceraian.
Kita harus bijak dalam menyikapi pernikahan dini,
apakah ia akan mendatangkan kebagiaan atau justru menyebabkan kesedihan serta
kesusahan. Karena pada hakikatnya pernikahan yang diharapkan adalah membangun
keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kita harus menimbang apakah
pernikahan tersebut membawa kemaslahatan, atau justru akan membawa
dampak-dampak negatif dalam kehidupan. Jika sekiranya dampak negatif lebih
mendominasi, hendaknya kita menghindarinya. Sebagaimana qoidah ushuliyyah:
درءالمفاسد مقدم علی جلب
المصالح
“Mencegah
kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan”
Tidak sedikit pasangan yang sudah bercerai karena
masalah sepele. Bahkan bayak yang usia pernikahannya masih beberapa tahun atau
beberapa bulan. Dalam melakukan sesuatu,
tentu kita harus mengenali dan mempelajari hal tersebut sehingga kita dapat
melakukannya dengan benar. Begitu juga dengan menikah kita juga perlu mengenali
“teman hidup” kita agar tercipta kecocokan yang akan berbanding lurus dengan
keharmonisan rumah tangga. Karena sebelum menuju ke jenjang pernikahan, kita
harus mengenali calon pasangan kita dan visinya adalah agar pernikahan dapat
menjadi anugerah, bukan musibah.
Jadi, Pernikahan tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Kematangan dalam hal fisik, psikologis, emosional, dan finansial sangat diperlukan. Kedewasaan diri secara mental dan finansial juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk menjalani pernikahan dan membangun rumah tangga. Inilah mengapa pernikahan dini tidak disarankan, yakni karena kemungkinan mafsadat dan madhorot-nya lebih besar daripada mashlahat-nya.
SUMBER
Al-Baghowi,
Husain bin Mas’ud. 1990. Ma’alim
at-Tanzil. Riyadh. Dar Thoyyibah. J. 6
Al-Maraghi,
Ahmad Mushthofa. 1946. Tafsir Al-Maraghi. Mesir: Musthofa Al-Babi Al-Halabi.
J.21
Al-Qurthubi,
Muhammad bin Ahmad. 2006. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Beirut: Ar-Risalah.
Al-Syuyuhi,
Jalaluddin, dan Jalaluddin Al-Mahally. Tafsir Jalalain. Kairo: Mushtofa
Al-Halabi
Al-Thobari,
Muhammad bin Jarir. 2001. Jami’ al-Bayan ‘an Tafsir Ay al-Qur’an. Kairo: Dar al-hijr. J. 18
Katsir,
Ibn. 2000. Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Beirut: Dar Ibn Hazm
Wijayanti, Dwinanda, dan Werdani. 2016. Pendidikan Ibu Pengetahuan Responden dan Pernikahan Dini. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. (1): 77
[1]
Wijayanti, Dwinanda, dan Werdani, “Pendidikan Ibu Pengetahuan Responden dan
Pernikahan Dini,” Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, No. 1 (2016): 77,
diakses pada 21 Maret 2022, http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/166/161.
Komentar
Posting Komentar