KAJIAN TAFSIR TEMATIK : KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

 Kepemimpinan Perempuan

Pendahuluan

Kepemimpinan perempuan juga dikisahkan dalam Al-Qur’an, yakni tentang ratu Bilqis dari Saba’ yang sesungguhnya bermakna bahwa perempuan pun layak memimpin suatu bangsa, jika tidak, tak mungkin ada kisah tersebut di dalam Al-Qur’an. Walaupun demikian terdapat dua dalil bagi orang yang menjadikannya sebagai alasan untuk melarang kepemimpinan. Alasan pertama, yaitu Surah an-Nisa’/4:34

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ 

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suami) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)”. (an-Nisa’/4:34)

Alasan kedua, yaitu hadis nabi:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً.  (رواه البخاري عن أبي بكرة)

“Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”. (Riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah)

Al-Qurtubi cenderung menafsirkan ayat tersebut dengan melihat aktivitas laki-laki sebagai pencari nafkah, sementara Ibnu ‘Abbas secara khusus menafsirkan kata qawwamun sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan wewenang. Az-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kata itu berarti laki-laki wajib ber-amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa kepada rakyatnya. Supertioritas laki-laki tersebut menurut rasyid ridha, terjadi karena dua sebab, yaitu fitri dan kasbi. Sebab fitri terlihat bahwa lelaki lebih kuat, lebih tegap, dan sempurna. Sementara sebab kasbi terlihat bahwa laki-laki lebih mampu berusaha, berinovasi, dan bergerak. Oleh karena itu, lelaki dituntut untuk memberi nafkah kepada perempuan, menjaga, dan memimpinnya. Dipihak lain, perempuan diberi fitrah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidik anak. Penafsiran seperti tersebut diatas berimplikasi jauh, yakni perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, bahkan mengatur hidupnya sendiri, ataupun meningkatkan kualitas dirinya sebagai hamba allah dan khalifah, apalagi memimpin orang lain. Tentang keberhasilan kepemimpinan ratu Bilqis diterangkan dalam Al-Qur’an dalam surah an-Naml/27: 23-44, yakni beliau mempunyai sifat-sifat demokratis, adil, bijaksana, penuh dedikasi, tidak suka tindak kekerasan, tidak angkuh, bertanggung jawab, dan yang terpenting mau menerima kebenaran.

Kepemimpinan perempuan terkait dengan atau bagian dari kepemimpinan keluarga, kepemimpinan dalam ibadah perempuan juga dapat menjadi imam bagi sesamanya dan anak-anak. Perempuan juga dapat tampil dalam masyarakat sebagai pemimpin jika keterampilan memimpinnya dibutuhkan, bahkan sebagai pemimpin negara.

Persoalan kepemimpinan perempuan adalah persoalan yang sangat penting dan strategis, karena ia sangat menentukan nasib sebuah keluarga, kelompok, masyarakat, dan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa di antara ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat, dan mampu menghadirkan perubahan kearah yang lebih baik. Korea selatan misalnya, negara tersebut mampu bangkit pasca perang 1950-an dan menjadi salah satu macan ekonomi dunia saat ini, karena proses perubahan radikal dan fundamental yang dilakukan oleh salah seorang pemimpinnya, yaitu park chung hee. Terinspirasi dari ayat:

  إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d/ 13: 11)

Ayat tersebut ditulis di sebuah masjid saat beliau berkunjung ke Malaysia pada dekade 1960-an, Park Chung Hee mampu mengubah bangsa korea ke arah yang lebih baik dan mampu memberikan landasan yang kuat bagi perubahan itu sendiri. Dr. Muhathir Muhammad dengan kepemimpinannya yang tegas dan visioner, telah membawa negara malaysia menjadi negara yang kuat dan disegani dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, hubungan internasional, maupun bidang-bidang lainnya. Demikian pula kepemimpinan ‘Umar bin Abdul Aziz, yang adil, jujur, dan tegas telah membawa masyarakat dan bangsanya pada kesejahteraan yang optimal dalam berbagai bidang kehidupan. Pada masa beliaulah tidak ada mustahiq zakat, karena semuanya telah tersejahterakan dengan baik.

Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan keluarga, kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara. Al-Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Contohnya adalah kisah Nabi Yusuf, seorang nabi yang dipercaya untuk memegang amanah mengelola keuangan dan perekonomian masyarakat. Nabi Yusuf, dengan bermodalkan kejujuran dan kecerdasannya (Yusuf/ 12: 55), mampu menyelamatkan Mesir dari krisis pangan dan krisis ekonomi berkepanjangan.

قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.” (Yusuf/12: 55)

Dibawah kepemimpinan beliau, Mesir mampu mempertahankan kemakmurannya meskipun kondisi perekonomian global saat itu berapa pada posisi yang  tidak menguntungkan akibat musim paceklik yang sangat dahsyat sehingga supply barang kebutuhan pokok menjadi terganggu.

Demikian juga dengan kepemimpinan Rasulullah SAW yang mampu mrnciptakan revolusi peradaban hanya dalam waktu 23 tahun. Beliau adalah tipikal pemimpin yang sangat luar biasa dan tidak ada tandingannya. Potensi para sahabat mampu dioptimalkan dengan baik sehingga mereka dapat memerankan dirinya sebagai anasirut taghyir atau agen-agen perubahan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih positif. ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dengan potensi yang dimilikinya, oleh Rasulullah dijadikan sebagai kunci penting yang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. Abu bakar dan Umar bin Khattab, dipersiapkan Rasulullah SAW sebagai negarawan besar. Demikian pula dengan Khalid bin Walid, yang dioptima lkan perannya sebagai jenderan perang yang sangat disegani dan ditakuti dunia pada saat itu. Abu Zar al-Ghifari, yang dididik menjadi tokoh yang menjadi penyeimbang dan pengingat penguasa untuk tidak main-main dengan jabatannya. Aisyah, disamping sebagai istrinya, beliau juga dipersiapkan sebagai seorang ilmuwan yang mampu menjawab berbagai pertanyaan dari masyarakat, terutama dari kaum perempuan. Masih banyak contoh para sahabat yang lainnya, yang mampu menorahkan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia. Yang sangat luar biasa adalah, Rasulullah SAW mampu menjadikan mereka sebagai tim yang solid dan kompak sehingga melalui tangan merekalah dakwah Islam tersebar luas ke seluruh jazirah dan penjuru dunia. Kesemuanya membuktikan bahwa persoalan kepemimpinan bukan merupakan persoalan kecil yang dapat dipermainkan. Ia adalah persoalan serius yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di uyaumil-akhir. Karena itu, ajaran Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin, karena salah memilih pemimpin dan salah dalam meletakkannya, berarti sama dengan turut berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan masyarakat.

Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik dihadapan Allah maupun di hadapan manusia. Dihadapan Allah kelak pada hari akhir akan terjadi saling melempar kesalahan, antara pemimpin dengan rakyat atau masyarakat yang dipimpinnya, jika tidak dilandasi dengan nilai-nilai tauhidullah dan ketundukan kepada ajaran-Nya. Allah SWT berfirman dalam Surah al-Baqarah/2 ayat 166 dan 167:

إِذْ تَبَرَّأَ ٱلَّذِينَ ٱتُّبِعُوا۟ مِنَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوا۟ وَرَأَوُا۟ ٱلْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ ٱلْأَسْبَابُ (١٦٦) وَقَالَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوا۟ لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا۟ مِنَّا ۗ كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ ٱللَّهُ أَعْمَٰلَهُمْ حَسَرَٰتٍ عَلَيْهِمْ ۖ وَمَا هُم بِخَٰرِجِينَ مِنَ ٱلنَّارِ (١٦٧)

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus. Dan orang-orang yang mengikuti berkata, “Sekiranya kami mendapat kesempatan (kembali ke dunia), tentu kami akan berlepas tangan dari mereka, sebagaimana mereka berlepas tangan dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka perbuatan mereka yang menjadi penyesalan mereka. Dan mereka tidak akan keluar dari api neraka.(Al-Baqarah/2: 166-167)

Karena persoalan kepemimpinan terkait dengan urusan dunia dan akhirat, maka Al-Qur’an melarang kaum Muslim mengangkat pemimpin non-Muslim yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta kaum Muslim secara keseluruhan. Allah SWT berfirman dalam Surah al-Mumtahanah/60 ayat 1:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا۟ بِمَا جَآءَكُم مِّنَ ٱلْحَقِّ يُخْرِجُونَ ٱلرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَن تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَٰدًا فِى سَبِيلِى وَٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِى ۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَأَنَا۠ أَعْلَمُ بِمَآ أَخْفَيْتُمْ وَمَآ أَعْلَنتُمْ ۚ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ


Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad), kepada mereka, karena kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa diantara kamu yang melakukannya, maka sungguh dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (al-Mumtahanah/60:1)

Terdapat pula larangan mengangkat pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Maidah/5 ayat 51:

۞ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada kepada orang yang dzalim. (al-Maidah/5:51)

Juga larangan mengangkat pemimpin yang mempermainkan ajaran agama. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Maidah/5 ayat 57 dan 58:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ وَٱلْكُفَّارَ أَوْلِيَآءَ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ (٥٧) وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ (٥٨)

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (melaksanakan) shalat, mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka orang-orang yang tidak mengerti. (al-Maidah/5: 57-58)

Bahkan salah satu doa yang selalu dibaca oleh ‘ibadurrahman (hamba-hamba Allah), dan juga sering dibaca kaum Muslim slainnya, dalah doa yang berkaitan dengan kepemimpinan dari kalangan orang-orang yang bertaqwa. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Furqan/25 ayat 74:

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا


Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” (al-Furqan/25:74)

Ketaatan kepada pemimpin yang baik, yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah merupakan keniscayaan bagi orang-orang yang beriman. Perhatikan firman Allah dalam Surah an-Nisa’/4 ayat 59:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an-Nisa/4:59)

Sebaliknya, tidak ada ketaatan terhadap pemimpin yang tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika Abu Bakar as-Siddiq diangkat sebagai khalifah, beliau menyampaikan pidato tentang kepemimpinan.

قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: ...أَطِيْعُوْنِيْ مَا أَطَعْتُ االلهَ وَرَسُوْلَهُ، فَإِذَا عَصَيْتُ االلهَ وَرَسُوْلَهُ فَلاَ طَاعَةَ لِيْ عَلَيْكُمْ، قُوْمُوْا إِلَى صَلاَتِكُمْ يَرْحَمْكُمُ االلهُ. (رواه عبد الرزاق عن معمر)

Abu Bakar berkata: “… Taat (patuh)lah kalian kepadaku selama aku patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan dan kepatuhan bagi kalian kepadaku. Dirikanlah shalat kalian, maka Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada kalian.” (Riwayat ‘Abdurrazzaq dari Mu’ammar)

Karena itu, dari sudut tanggung jawab inilah kita melihat kepemimpinan kaum perempuan dan bukannya adalah amanah dan tanggung jawab dan bukannya hak. Kepemimpinan adalah untuk kemaslahatan pribadi, keluarga, kelompok, maupun masyarakat dan bangsa. Pemimpin adalah pelayan bagi masyarakatnya.

Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَاْلأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ لاَأَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه مسلم عن ابن عمر)

Ingatlah, bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang Amir (kepala negara) adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang budak (hamba sahaya) adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka ingatlah, bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin. (Riwayat Muslim dari Ibnu Umar)

Hadis tersebut secara tegas menyatakan bahwa kaum perempuan adalah pemimpin dalam keluarganya bersama-sama dengan suaminya; kepemimpinan yang bersifat kolektif, yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Allah SWT menggambarkan hubungan suami dengan istri iru seperti pakaian yang saling menutupi dan melengkapi, sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Baqarah/2 ayat 187:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan diri sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnkanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf di masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertaqwa. (QS.al-Baqarah/2:187)

Seperti pakaian yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yang tidak bisa lepas dengannya, yang merupakan sebuah kebutuhan, kapan dan dimana pun, maka seperti itulah hubungan kepemimpinan suami dengan istri. Masing-masing melaksanakan kewajibannya dan bukan menuntut haknya. Firman Allah dalam Surah an-Nisa/4 ayat 34 :

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). (an-Nisa/4:34)

Dari surah an-Nisa/4: 34 tersebut diatas, dapatlah diketahui bahwa kewajiban suami adalah membimbing, mengayomi istrinya dan mencari nafkah bagi keluarganya. Sedangkan istri memiliki kewajiban tunduk dan patuh kepada suamiatas dasar kepatyhan dan ketundukan kepada Allah SWT dan menjaga dirinya, keluarga maupun harta bendanya.

Muhammad Ali as-Sabuni dalam kitabnya Safwatut-Tafasir, ketika menafsirkan Surah an-Nisa/4 ayat 3 tersebut menyatakan, bahwa suami memiliki kewajiban terhadap istrinya untuk menjaga, mendidik, dan memberikan nafkah. Sementara istri yang shalehah adalah yang tunduk dan patuh kepada Allah dan lepada suaminya; melaksanakan segala kewajibannya, menjaga dirinya dari perbuatan buruk, dan menjaga harta suaminya dari kemubadziran. Kedua-duanya juga memiliki kewajiban untuk saling menutupi, saling melengkapi kekurangan, dan saling menjaga rahasia pribadi masing-masing.

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا. (رواه مسلم عن أبي سعيد الخدري)

Sesungguhnya seburuk-buruknya manusia di sisi Allah pada hari kiamat nanti, yaitu suami yang bersenang-senang dengan istrinya dan begitu pula sebaliknya, lalu kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya. (Riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, Rasulullah SAW bersabda: 

حَقُّ الْمَرْءَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمَ وَيَكْسُوْهَا إِذَا اكْتَسَى وَلاَ يَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ يُقَبِّحْ وَلاَ يَهْجُرْ إِلاَّ فيِ الْبَيْتِ. (رواه ابن ماجة عن معاوية)

Kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami terhadap istrinya adalah: memberinya makan apabila ia makan, memberikan pakaian apabila ia berpakaian; janganlah ia (suami) memukul wajahnya, menghinanya, dan jangan pula mengasingkannya kecuali ketika berada di rumah. (Riwayat Ibnu Majjah dari Mu’awiyyah)

Melalui kepemimpinan suami-istri yang saling menjaga dan memelihara disertai pembagian tugas yang komperehensif dan saling melengkapi, atas dasar cinta dan kasih sayang, diharapkan akan terbangun keluarga yang kokoh dan kuat, serta melahirkan keluarga yang sejahtera dan selamat di dunia maupun di akhirat (keluarga sakinah). Allah SWT berfirman dalam Surah ar-Rum/30 ayat 21:

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (ar-Rum/30: 21)

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyatakan, bahwa orang yang mulia itu adalah orang yang memuliakan istrinya, dan orang yang hina itu orang yang menghinakan istrinya.

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ أَهْلِهِلِ وَأَناَ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ وَلاَ أَهَانَهُنَّ إِلاَّ لَئِيْمٌ. (رواه الحاكم عن علي)

Sebaik-baik kalian, adalah orang yang paling baik (dalam memperlakukan) keluarganya (istrinya). Dan aku (Muhammad) adalah orang yang paling baik dalam memperlakukan keluargaku (istriku). Tidaklah (orang) yang memuliakan istri itu, kecuali ia adalh orang yang mulia, dan tidaklah (orang) yang menghinakannya, kecuali ia adalah orang yang hina. (Riwayat al-Hakim dari Ali)

Demikian pula perempuan yang menjadi calon ahli surge adalah perempuan yang taat kepada Allah, mampu menjaga kehormatannyadan taat kepada suaminya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

 إِذَا صَلَّتِ الْمَرْءَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ. (رواه البزار عن أنس)

Apabila seorang perempuan mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, memelihara kehormatan dirinya, dan taat kepada suaminya, maka ia akan masuk ke dalam surga. (Riwayat Bazzar dari Anas)

Kepemimpinan perempuan (istri) di dalam keluarga diarahkan pada penguatan keluarga itu sebagai institusi pendidikan pertama yang melahirkan generasi yang kuat, yang saleh dan salehah, yang termasuk pada dzurriyyah tayyibah (keturunan yang baik). Dalam sebuah hadits riwayat imam ad-Dailami, Rasulullah SAW bersabda:

أَرْبَعٌ مِنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ: أَنْ تَكُوْنَ زَوْجَتُهُ صَالِحَةً وَأَوْلاَدُهُ أَبْرَارًا وَخُلَطَاؤُهُ صَالِحِيْنَ وَأَنْ يَكُوْنَ رِزْقُهُ فيِ بَلَدِهِ. (رواه الديلمي عن على)

Ada empat macam di antara kebahagiaan manusia: 1) istri yang shalehah, 2) anak yang baik, 3) sahabat yang shaleh, dan 4) rezekinya (mata pencaharian) berada dalam negerinya sendiri. (Riwayat ad-Dailami dari Ali)

Secara eksplisit hadits itu menyatakan keterkaitan yang kuat antara istri yang shalehah dan anak yang baik, di samping teman pergaulan dan rezeki. Terdapat kisah dalam Al-Qur’an yang menggambarkan betapa pentingnya peranan istri dalam melahirkan generasi yang shaleh. Suami taat dan shaleh, tetapi tidak disertai istri yang shalehah ternyata tidak mampu melahirkan generasi yang shaleh. Allah SWT mengisahkan dalam Al-Qur’an dua orang nabi yang shaleh dan memiliki istri yang tidak beriman. Firman-Nya dalam Surah at-Tahrim/66 ayat 10:

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱمْرَأَتَ نُوحٍ وَٱمْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَٰلِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيْـًٔا وَقِيلَ ٱدْخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ

Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada dibawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dappat membeantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), “Maka masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (at-Tahrim/66:10)

Anak Nabi Nuh, bernama Kan’an ternyata tidak beriman kepada Nabi Nuh, dan termasuk orang-orang yang ditenggelamkan oleh Allah bersama dengan kaumnya yang kufur. Allah SWT berfirman dalam Surah Hud/11 ayat 42-46:

وَهِىَ تَجْرِى بِهِمْ فِى مَوْجٍ كَٱلْجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبْنَهُۥ وَكَانَ فِى مَعْزِلٍ يَٰبُنَىَّ ٱرْكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلْكَٰفِرِينَ (٤٢) قَالَ سَـَٔاوِىٓ إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِى مِنَ ٱلْمَآءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ ٱلْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ ۚ وَحَالَ بَيْنَهُمَا ٱلْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ ٱلْمُغْرَقِينَ (٤٣) وَقِيلَ يَٰٓأَرْضُ ٱبْلَعِى مَآءَكِ وَيَٰسَمَآءُ أَقْلِعِى وَغِيضَ ٱلْمَآءُ وَقُضِىَ ٱلْأَمْرُ وَٱسْتَوَتْ عَلَى ٱلْجُودِىِّ ۖ وَقِيلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ (٤٤) وَنَادَىٰ نُوحٌ رَّبَّهُۥ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ٱبْنِى مِنْ أَهْلِى وَإِنَّ وَعْدَكَ ٱلْحَقُّ وَأَنتَ أَحْكَمُ ٱلْحَٰكِمِينَ (٤٥) قَالَ يَٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُۥ عَمَلٌ غَيْرُ صَٰلِحٍ ۖ فَلَا تَسْـَٔلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۖ إِنِّىٓ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلْجَٰهِلِينَ (٤٦)

Dan kapal itu berlayar membawa mereka kedalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada ditempat jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir.” Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan akau dari air bah!” (Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk oang yang ditenggelamkan. Dan difirmankan, “Wahai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan!) berhentilah.” Dan airpun disurutkan, dan perintahpun diselesaikan, dan kapal itu pun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, “Binasalah orang-orang dzalim.” Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasehatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.” (Hud/11:42-46)

Sebaliknya, pada istri yang mukminah yang suaminya kafir, Allah SWT menitipkan bayi yang kelak menjadi nabi (Musa). Allah berfirman dalam Surah at-Tahrim/66 ayat 11, juga firman-Nya dalam Surah al-Qasas/28 ayat 7-9:

وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱمْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ٱبْنِ لِى عِندَكَ بَيْتًا فِى ٱلْجَنَّةِ وَنَجِّنِى مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِى مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan Allah membuat perumpamaan bagi oang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surge dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.” (at-Tahrim/66:11)


وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلا تَخَافِي وَلا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ (٧) فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ (٨) وَقَالَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ قُرَّةُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (٩)

Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang Rasul.” Maka dia dipungut oleh keluarga Fir’aun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sungguh, Fir’aun dan Haman bersama bala tentaranya adalah orang-orang  yang bersalah. Dan istri Fir’aun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak,” sedang mereka tidak menyadari. (al-Qasas/28:7-9)

Dari suami yang saleh disertai istri yang salehah, lahirlah anak keturunan yang saleh. Seperti kisah kaluarga Nabi Ibrahim yang diabadikan oleh Allah, baik dalam ibadah haji maupun dalam Idul Qurban. Allah SWT berfirman dalam Surah as-Saffat/37 ayat 100-102:

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ (١٠٠) فَبَشَّرْنَٰهُ بِغُلَٰمٍ حَلِيمٍ (١٠١)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ (١٠٢)

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk oang yang sabar.” (as-Saffat/37: 100-102)

Karena itu, dapat disimpulkan bahwa tugas dan peran kaum perempuan sebagai pemimpin dalam keluarga adalah melahirkan dan membangun anak keturunan yang saleh dan salehah. Dan ini pulalah inti dari kepemimpinan perempuan dalam keluarga.  

Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surah Āli ‘Imron/3 ayat 35-36:


(Ingatlah), ketika istri ‘Imran berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui." Maka ketika melahirkannya, dia berkata, "Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan." Padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. "Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk." (Āli ‘Imron/3: 35-36)

Pada ayat tersebut di atas, terdapat kisah yang menarik tentang keinginan istri ‘Imron yang bernazar kepada Allah, bahwa apabila bayi ini telah lahir dan berjenis kelamin laki-laki, maka dinazarkan untuk menjadi imam dan pengurus masjid, serta dibebaskan dari segala macam pekerjaan yang bersifat duniawi. Akan tetapi, pada kenyataannya, yang lahir itu adalah bayi perempuan. Allah subhanahu wa ta‘ala menegaskan, bahwa Dia lebih mengetahui bayi yang dikandung oleh seorang ibu yang hamil; dan laki-laki tidaklah sama dengan perempuan. Dari ayat ini dapat disimpulkan, bahwa khusus untuk kegiatan ibadah mahdah dan kegiatan takmir masjid, terdapat perbedaan-perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Perbedaan ini tidak menunjukkan diskriminasi, akan tetapi menunjukkan ciri khas masing-masing sesuai dengan fitrahnya, dan bahkan kondisi fisiknya. Dalam ibadah salat, laki-laki dengan perempuan memiliki perbedaan-perbedaan. Misalnya, dalam hal aurat dan tata cara berpakaian. Kalau perempuan harus ditutup seluruh anggota badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, sedangkan laki-laki antara pusar sampai dengan lutut. Hal ini juga berlaku dalam pakaian keseharian.


Aurat laki-laki yang merdeka atau hamba sahaya, adalah antara pusar sampai lutut. Adapun aurat perempuan yang merdeka, adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan (luar dan dalam) sampai pergelangan tangan.

Demikian pula ketika melakukan kegiatan salat berjamaah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatur safnya. Saf terdepan adalah laki-laki, di tengah anak-anak, dan saf yang terakhir adalah perempuan.

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا. (رواه مسلم عن أبي هريره)


Sebaik-baik saf (barisan salat) laki-laki adalah di awal (depan) dan yang paling buruk, adalah (saf) paling belakang. Dan sebaik-baik saf (barisan salat) perempuan adalah di akhir (belakang) dan yang paling buruk, adalah (saf) paling depan. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Yang menjadi imam adalah laki-laki, karena sesungguhnya ia dijadikan sebagai imam untuk diikuti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَلا تُكَبِّرُوْا حَتَّى يُكَبِّرَ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا، وَلا تَرْكَعُوْا حَتَّى يَرْكَعَ، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوْا: رَبِّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا، وَلا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ فَارْفَعُوا، وَلا تَرْفَعُوا حَتَّى يَرْفَعَ، وَإِنْ صَلَّى جَالِسًا فَصَلَّوْا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ. (رواه مسلم والطّبراني عن أبي هريرة )

Sesungguhnya (seseorang) dijadikan sebagai imam (salat), adalah untuk diikuti. Jika dia takbir, maka bertakbirlah kalian, dan janganlah kalian bertakbir, sampai imam bertakbir (terlebih dahulu). Dan jika ia (imam) ruku’, maka ruku’lah kalian, dan janganlah kalian ruku’, sehingga imam melakukan ruku’ (terlebih dahulu). Dan jika imam mengucapkan (lafaz) Sami‘allahu liman hamidah, maka jawablah oleh kalian: "Rabbanā walakal hamdu. Dan jika imam sujud, maka sujudlah kalian, dan jangan bersujud, sehingga imam bersujud (terlebih dahulu). Jika imam mengangkat kepalanya, maka angkatlah kepala kalian; dan janganlah kalian mengangkat kepada kalian, sehingga imam mengangkat kepalanya (terlebih dahulu). Dan jika imam salat (dalam keadaan) duduk, maka duduklah kalian secara berjamaah. (Riwayat Muslim dan attaabrani dari Abū Hurairah)

Akan tetapi ketika jamaahnya perempuan saja, maka tentu saja yang menjadi imam boleh perempuan, dan jika jamaah tersebut adalah laki-laki dan perempuan, maka yang harus menjadi imam adalah laki-laki, begitu pula dalam Salat Jumat. Dalam Salat Jumat ini, ada perbedaan-perbedaan. Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman dalam Surah al-Jumu‘ah/62 ayat 9:


Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (al-Jumu‘ah/62: 9)

Pada ayat tersebut Allah subhanahu wa ta‘ala mewajibkan kepada setiap orang yang beriman untuk melaksanakan Salat Jumat. Akan tetapi khusus kaum perempuan, terdapat hadis yang menyatakan, bahwa mereka tidak wajib melaksanakan Salat Jumat, meskipun diperbolehkan melakukannya.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ إلاَّ امْرَأَةٌ أَوْ مُسَافِرٌ أَوْ عَبْدٌ أَوْ مَرِيضٌ. (رواه الدارقطني عن جابر)

Rasulullah bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka laksanakanlah salat Jumat, kecuali bagi perempuan, musafir, hamba sahaya, dan orang yang sedang sakit. (Riwayat ad- Daruqutni dari Jābir)

Tentu saja dalam kasus ini, terdapat berbagai hikmah dan manfaat yang sangat besar bagi kemaslahatan perempuan itu sendiri. Demikian pula dalam pelaksanaan ibadah haji, meskipun pada umumnya banyak persamaan, tetapi juga terdapat perbedaan, yaitu dalam hal pakaian ihram dan ketika melaksanakan tawaf. Tawaf adalah ibadah yang harus dilakukan dalam keadaan suci dan apabila seorang perempuan sedang berhalangan (haid), maka tidak dibenarkan melaksanakan tawaf.

Adanya hukum-hukum khusus ini, oleh karena memang ada perbedaan-perbedaan khusus antara laki-laki dengan perempuan dalam ibadah. Misalnya dalam kondisi menstruasi pada perempuan. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Baqarah/2: 222-223:


Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, "Itu adalah sesuatu yang kotor." Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman. (al-Baqarah/2: 222-223)

Ayat ini bukan hanya sekadar melarang melakukan hubungan suami-istri pada waktu haid, akan tetapi pada waktu haid, kaum perempuan juga tidak dibenarkan untuk melakukan salat, melaksanakan puasa, dan membaca Al-Qur΄an.

 لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَاِئضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ. (رواه أحمد، والتّرمذى، وابن ماجه، والبيهقى، وابن جرير عن ابن عمر)

Janganlah orang yang dalam keadaan junub dan haid, membaca sesuatu (ayat) dari Al-Qur′an. (Riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan Ibnu Jarīr dari Ibnu ‘Umar)

Tetapi pada ibadah-ibadah yang lainnya, misalnya dalam berdoa, mengeluarkan zakat, bangun malam, dan yang lainnya, tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, dalam sebuah hadis dikemukakan tentang persamaan salat malam bagi suami-istri.

 إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ االلهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ. (رواه ابن حبان عن أبي سعيد) 

Barangsiapa bangun pada malam hari dan ia membangunkan istrinya, kemudian keduanya melakukan salat dua rakaat, maka Allah menulis kedua orang itu sebagai orang yang banyak mengingat Allah. (Riwayat Ibnu Hibban dari Abi Sa‘īd)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MUSYKER JQH AL-FURQAN UIN SALATIGA

Awal mula Penetapan Kelender Hijriah oleh Khalifah Umar Bin Khattab

GSQ (Gebyar Seni Qur'aniyy) yang KE XV : "Mewujudkan Generasi Qur'ani yang Unggul dalam Prestasi"