HARI JADI KOTA SALATIGA KE-1274 TAHUN
Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, Salatiga memiliki sejarah panjang dan budaya yang kaya. Pada taggal 24 Juli tahun 2024 ini, Kota Salatiga memperingati hari jadinya yang ke-1.274 tahun. Pada hari yang istemewa ini, mari kita kenal lebih dalam tentang sejarah Kota Salatiga.
Sejarah Salatiga bisa ditelusuri melalui Prasasti Plumpungan, namun ada pula sejarah Salatiga versi legenda yang diyakini sebagai asal usul nama Salatiga. Kota Salatiga berdiri sejak 24 Juli 750 Masehi. Sehingga, sampai saat ini usia Kota Salatiga mencapai 1.273 tahun. Sejarah Salatiga bersumber dari Prasasti Plumpungan yang berada di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo.
Pada masa Hindu-Buddha, Salatiga telah menjadi daerah istimewa sebagaimana tertera dalam prasasti Plumpungan atau prasasti Hampra. Prasasti yang berangka tahun 672 Saka atau 750 Masehi ini ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Menurut Soekarto Kartoatmadja, candrasengkala dalam prasasti Plumpungan menunjuk hari Jumat (Suk) rawâra tanggal 31 Asadha atau tanggal 24 Juli 750 Masehi. Tanggal tersebut merupakan peresmian Desa Hampra (Plumpungan) menjadi daerah perdikan. Berdasarkan prasasti ini, hari jadi Salatiga ditetapkan pada tanggal 24 Juli 750, yang dibakukan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 tanggal 20 Juli 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.
Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum tentang suatu tanah perdikan atau swatantra bagi Desa Hampra di wilayah Trigramyama yang diberikan Raja Bhanu untuk kesejahteraan rakyatnya. Tanah perdikan dikenal pula dengan sebutan sima. Tanah ini biasanya akan diberikan oleh para raja kepada daerah tertentu yang benar-benar berjasa kepada kerajaan atau secara sukarela mendirikan bangunan suci keagamaan. Daerah tersebut selanjutnya menjadi daerah otonom yang dibebaskan dari pajak. Daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga saat ini. Untuk mengabadikan peristiwa itulah, Raja Bhanu menulis dalam prasasti Plumpungan kalimat Srir Astu Swasti Prajabhyah yang berarti “semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian”.
Melalui
prasasti Plumpungan dapat diperkirakan bahwa daerah Salatiga dahulu berada di
bawah otoritas Kerajaan Mataram. Di sisi lain, Raja Bhanu yang disebutkan dalam
prasasti Plumpungan belum dapat diketahui hubungannya dengan Kerajaan Mataram,
tetapi para peneliti menyatakan bahwa seseorang yang mendirikan bangunan suci
merupakan seorang bangsawan. Informasi lain yang disampaikan melalui prasasti
Plumpungan menunjukkan adanya komunitas Buddha di Salatiga. Lebih dari itu,
masyarakat Salatiga juga telah mengenal organisasi kemasyarakatan dalam bentuk
kerajaan, meskipun wilayah Salatiga bukan merupakan pusat kerajaan.
Nama
Salatiga juga diperkirakan berasal dari perkembangan nama dewi yang disebutkan
dalam prasasti Plumpungan, yaitu Siddhadewi. Siddhadewi dikenal dengan nama
Dewi Trisala. Nama Trisala kemudian dilestarikan di tempat dewi ini dipuja.
Lokasi tersebut dinamakan Tri-Sala, yang berdasarkan kaidah hukum bahasa bisa
berbalik menjadi Sala-tri atau Salatiga.
Komentar
Posting Komentar