Gedung Moderasi Beragama (GEMA) Dengan Konsep Three-Con Ki Hajar Dewantara Sebagai Langkah Nyata Mengatasi Degradasi Moral di Indonesia_ESSAY JQH FEST

 Tema: Peran Mahasiswa Sebagai Agen dalam Menanamkan Nilai-nilai Moderasi Beragama

Gedung Moderasi Beragama (GEMA) Dengan Konsep Three-Con  Ki Hajar Dewantara Sebagai Langkah Nyata  Mengatasi Degradasi Moral di Indonesia 
      Oleh : Arif Dika Prasetya 
( Juara 1 Lomba Essay JQH Fest 2023 )

Moral merupakan suatu hal yang mempunyai peran penting dalam sebuah kehidupan bernegara maupun beragama. Sebagaimana kita ketahui Nabi Muhammad SAW diturunkan kemuka bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Oleh karenanya, jangan sampai Islam hanya dijadikan “tiket ke surga” dimana ritual keagamaan hanya sekadar menjadi daftar yang wajib dicentang guna memenuhi syarat masuk kedalam surganya Allah SWT. Artinya, para penganutnya banyak yang tidak memahami bahkan tidak mengerti sama sekali substansi yang harusnya diterapkan di kehidupan sehari-hari (Henry M, 2015). 

Kemajuan teknologi seperti internet, merupakan salah satu faktor penyebab merosotnya moral di Indonesia (Diah N, 2018). Merosotnya moral ditandai dengan terjadinya dikotomi, banyaknya ujaran kebencian, hoaks, penggusuran tempat ibadah, penolakan pendirian rumah ibadah, dan selalu terjadi perpecahan besar hanya karena hal kecil. Bahkan yang lebih parah, agama dijadikan dasar untuk bertengkar dan meyankiti satu sama lain.

Selain konflik karena berbeda agama, didalam internal agama Islam sendiri pun banyak yang saling mencari permusuhan. Perbedaan interpretasi, ritual, adat, dan madzhab sering dipertengkarkan. Oleh karenanya diperlukan sikap moderasi beragama bagi setiap manusia untuk mengatasi masalah-masalah moral tersebut. Penanaman nilai-nilai moderasi beragama ini harus disebarkan oleh kaum berpendidikan. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, melainkan orang yang berpendidikan lebih bermoral dibandingkan dengan yang kurang pendidikannya. Pendidikan disini bukan hanya tentang ilmu dunia melainkan juga ilmu agama. Oleh karenanya masiswa PTKIN adalah golongan yang paling tepat dalam menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama di Indonesia (RI, K.I, 2019). 

Menurut Kemenag RI sendiri moderasi beragama sangat penting, bahkan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin meminta setiap kampus mendirikan rumah moderasi beragama. Arahan ini sudah diedarkan ke seluruh PTKIN pada bulan Oktober 2019. Rumah ini nantinya akan digunakan untuk edukasi, pendampingan, pengaduan dan penguatan gerakan moderasi beragama. Bahkan moderasi beragama sudah menjadi agenda nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang dituangkan dalam peraturan presiden (perpres) Nomor 18 tahun 2020 dan Kemenag sebagai leading sektornya. (Kemenag.go.id, 2020).

Sampai saat ini, sudah puluhan rumah moderasi beragama ada di PTKIN. Beberapa diantaranya misalnya UIN Gunung Djati, UIN Walisongo, UIN Sunan kalijaga, IAIN Metro, IAIN Madura, dan kampus kita tercinta UIN Salatiga yang meresmikan rumah moderasi beragama 04/09/20. Khusus di UIN Salatiga rumah moderasi beragama diresmikan oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi dan dihadiri Rektor, Wakil Walikota, Kakanwil Jateng, Ulama, dan Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Salatiga. 

Tentunya rumah moderasi beragama di UIN Salatiga juga berperan menjadikan Salatiga sebagai kota paling toleran di Indonesia tahun 2021 yang diumukan 25/02/21 dan kota paling toleran 2023 yang diumukan 30/01/23. Ini adalah contoh nyata keunggulan wilayah yang mempunyai PTKIN dan rumah moderasi beragama di Kota nya. Dalam hal ini tentu PTKIN lebih unggul dibandingkan PTN umum yang ada di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa mahasiswa PTKIN adalah golongan yang tepat dan akan menjadi agent of change dalam penyebaran moderasi beragama di Indonesia. Apalagi mahasiswa PTKIN adalah kaum berpendidikan yang tidak hanya belajar pengetahuan umum tapi juga pengetahuan agama.

Dari berbagai keunggulan mahasiswa PTKIN dibandingkan golongan masyarakat yang lainnya, mereka harusnya tidak stagnan dikampus dalam mengamalkan ilmunya. Tetapi mereka harus membuat ruang diluar kampus guna memperluas nilai-nilai moderasi beragama. Dengan demikian, mahasiswa PTKIN bisa menjadi pelopor agar semua umat beragama dapat menumbuhkan sikap moderat dikhalayak umum. 

Moderasi dan Toleransi

Moderasi berasal dari bahasa latin yaitu moderatio yang artinya ke-sedang-an ataupun tidak lebih dan tidak kurang. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moderasi berarti mengurangi ekstrimitas dan mengurangi kekerasan (Sania A, 2021). Dalam bahasa arab moderasi lebih dikenal dengan wasathiyah yang memiliki sudut pandang berupa tawassuth (tengah-tengah), I’tidal (adil), dan tawazun (berimbang) (Fauziah N, 2021). Maka bisa dikatakan orang yang bersikap moderasi adalah orang yang ideal. 

Sedangkan toleransi merupakan suatu sikap menghargai orang yang berbeda dengan kita walaupun kita tidak sepakat dengannya. Apalagi ketika kita mengajak seseorang kedalam hal kebaikan dan orang tersebut tidak mau, maka kita harus menerima dengan lapang dada. Karena mengajak orang lain harus dengan kearifan dan bijaksana (bil hikmah) (Muchotob H, 2017). Sehingga orang yang mempunyai sikap toleransi tidak akan mengedepankan cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak. Orang yang bersikap toleransi juga akan mempunyai prinsip amar ma’ruf bil ma’ruf, nahi mungkar bil ma’ruf, dimana didalam mengajak kebaaikan kita harus menggunakan kebaikan dan menyuruh untuk menjauhi hal mungkar juga harud dengan cara yang baik.

Maka moderasi dan toleransi sangat berkaitan secara erat. Dimana toleransi adalah bagian dari moderasi. Lebih mudahnya bisa dikatakan pula bahwa moderasi adalah prosesnya sedangkan toleransi adalah hasilnya. Sehingga moderasi dan toleransi harus terus bergandengan tangan untuk berjalan mengiringi kemajuan bangsa Indonesia. 

Oleh karena itu, mahasiswa PTKIN tidak bisa hanya mengandalkan pendidikan agama Islam di sekolah atau kampus untuk mengatasi degradasi moral di Indonesia. Mahasiswa PTKIN sebagai agent of change harus menciptakan sistem pendidikan agama Islam diluar instansi dengan menerapkan prinsip-prinsip moderasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masalah moral di Indonesia bisa teratasi. Penerapan moderasi beragama tentu akan lebih baik jika disesuaikan dengan kabupaten/kotanya masing-masing. Hal itu dikarenakan ada tiga pilar yang melekat pada bangsa Indonesia yaitu, budaya, aliran kepercayaan, dan agama (Qasim. M, 2020). Tiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan, dengan demikian mengedukasi Islam moderat di setiap wilayah akan lebih efektif dan efisien. 

GEMA dengan konsep Three-Con Ki Hajar Dewantara sebagai langkah nyata mengatasi degradasi moral di Indonesia 

Pembinaan moral di Indonesia dirasa belum efektif, baik itu di sekolah, rumah tangga, maupun masyarakat. Pembinaan moral dirumah tangga biasanya hanya dengan menyuruh menghafal hal-hal yang baik dan buruk, tapi tidak diaplikasikan secara nyata. Disekolah sendiri murid nampaknya lebih sering dipaksa daripada dirangkul oleh guru. Mereka dipaksa mengikuti aturan yang berlaku tanpa diberikan pengertian yang lembut kepada diri mereka. Alhasil siswa hanya punya moral ketika disekolah atau bahkan ketika ada guru saja, namun diuar itu mereka melupakannya (Banathy. B.H, 1994). Di masyarakatpun demikian, seseorang tidak bisa lepas dari lingkungan masyarakat yang ada, jika lingkungannya bermoral ia akan mengikutinya, namun jika tidak iapun akan terbawa arus. Maka dibutuhkan pondasi yang kuat untuk menghadapi arus-arus yang menyebabkan rusaknya moral pada diri manusia.

Berangkat dari Rumah Moderasi Beragama yang ada di PTKIN. Mahasiswa harus menciptakan ruang yang sama diluar kampus. Hal ini dilakukan agar mahasiswa PTKIN benar-benar mengimplementasikan ilmunya di masyarakat luas. Aksi nyata yang bisa dilakukan mahasiswa PTKIN adalah dengan membuat “Gedung Moderasi Beragama” (GEMA) dikabupaten/kotanya. "Gedung" dalam hal ini mahasiswa tidak harus membuat bangunan dengan biaya mahal namun menciptakan ruang diskusi dalam satu wadah didaerahnya masing-masing. Dengan GEMA inilah mahasiswa PTKIN bisa menjadi agent of change dalam menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama di Indonesia. Nantinya GEMA bisa menjadi wadah agar umat antar agama bisa saling berdiskusi terkait isu-isu terkini ataupun isu yang terjadi. Untuk menjadikan GEMA ini mempunyai sistem pendidikan atau tempat belajar yang berkualitas, konsep dari bapak pendidikan Indonesia tak boleh dilupakan.  R.M Suwardi Suryaningrat atau yang biasa kita kenal Ki Hajar Dewantara yang merupakan konseptor pendidikan haruslah dijadikan pedoman. Pendirian GEMA juga sebagai mengacu konsep Three-Con Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan (A. Aziz, 2018). 

Konsep Three-Con Ki Hajar Dewantara yang menjadi acuan didalam GEMA yaitu: Con petama Continew, dimana sistem pembelajaran sifatnya haruslah berkelanjutan. Pembelajaraan tidak boleh hanya sesaat atau diam ditempat. Kita juga harus mempelajari hal-hal yang sampai nanti akan kita pakai ilmunya. Dengan diciptakannya GEMA, ini membuktikan bahwa pembelajaran tidak stagnan dan dibatasi didalam sekolah saja. Selain itu, dengan adanya GEMA, nilai-nilai moderasi akan diimplementasikan secara nyata dan berkelanjutan atau tidak hanya belajar teori saja.

Convergen merupakan con kedua dari konsep yang penulis tawarkan. Artinya ilmu harus dari berbagai sumber. Hal ini bertujuan agar pandangan dan keterampilan yang kita miliki semakin luas. Sehingga kita tidak mudah menghakimi orang lain yang berbeda dan kita dapat menyelesaikan banyak masalah sesuai situasi serta kondisinya. Tentu, sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa GEMA berguna untuk diskusi antar agama, sehingga itu akan memperbanyak sumber dan tidak belajar dari satu sisi saja. Dengan demikian, ini akan membantu menumbuhkan sikap toleransi kepada masyarakat Indonesia khusunya orang Islam itu sendiri.

 Con yang ketiga adalah consentris, maksudnya kita boleh belajar sejauh mungkin tapi harus tetap disesuaikan dengan identitas diri dan konteks yang ada di lingkungan/hidup kita masing-masing. Jangan sampai karena kita belajar hal baru, kita menjadi apatis terhadap lingkungan kita sendiri. Jadi dimanapun kita belajar, kita harus punya pemahaman bahwa ilmu ini nantinya akan direalisasikan utamanya di hidup dan lingkungan kita. Sebagaimana telah disampaikan diawal bahwa pendirian GEMA efektifnya adalah disetiap kabupaten/kota. Sehingga selain meningkatkan kulitas pendidikan agama Islam, GEMA mengjarkan kita untuk perduli pada sekitar dan mengamalkan ilmu utamanya di lingkungan kita. Dengan demikian, tentu juga akan membantu masalah moral yang ada di wilayah dan sekitar kita.

Pada intinya kita harus mengubah minsed bahwa; semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru dan setiap waktu adalah belajar. Dengan demikian mahasiswa tidak terpaku pada kampus/sekolah sebagai sistem pendidikan. Sekolah tetap harus dilalui dengan baik, namun diluar itu hal-hal yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan diluar sekolah juga harus dijalankan. Dengan demikian akan mewujudkan generasi yang berkualitas dan menerapkan ajaran Islam walau di kalangan umum. Dan pendirian GEMA adalah bukti nyata peran mahasiswa Islam dalam mengatasi degradasi moral di Indonesia. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MUSYKER JQH AL-FURQAN UIN SALATIGA

Awal mula Penetapan Kelender Hijriah oleh Khalifah Umar Bin Khattab

GSQ (Gebyar Seni Qur'aniyy) yang KE XV : "Mewujudkan Generasi Qur'ani yang Unggul dalam Prestasi"