Pembagian Sumber-Sumber dalam Penafsiran Al-Qur'an

 

Sumber-Sumber Tafsir

Irvan Ardiansyah

Sumber: unsplash.com


A.     Tafsir bi Al-Ma’tsur

1.        Pengertian Tafsir bi Al-Ma’tsur

Pengertian tafsir bil ma’tsur menurut Syekh Manna’ al-Khattan adalah:

هُوَالَّذِي يَعْتَمِدُ عَلَى الصَّحِيْحِ الْمَنْقُوْلِ مِنْ تَفْسِيْرِ الْقُرْأَنِ بِالقُرْأنِ اَوْ بِالسُّنَّةِ أَوْبِمَا رُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ أَوْبِمَا قَالَهُ كِبَارُ التَّابِعِيْن

“Yaitu penafsiran yang didasarkan pada riwayat yang shahih dengan menggunakan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah, atau penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan sahabat, penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan tabi’in senior.”[1]

Adapun pengertian tafsir bil ma’tsur menurut Muhammad Ali As-Shabuny adalah:

هُوَ مَا جَاءَ فِى القُرْانِ أَوِ السُّنَّةِ أَوْ كَلَامِ الصَّحَابَةِ بَيَانًا لِمُرَادِ اللَّهِ تَعَالَى

“Yaitu apa yang terdapat dalam Al-Qur’an  atau sunnah nabi atau ucapan sahabat sebagai penjelas dari maksud Allah SWT.”[2]

Memang dalam pengertian tafsir bi al-Ma’tsur terjadi perbedaan di kalangan ulama, apakah qoul tabi’in termasuk ke dalamnya. Ada yang menyetujui qoul tabi’in termasuk ma’tsur, Misalnya adalah Syekh Adz-Dzahabi[3]. Ada yang juga yang menolaknya, seperti Syekh Ali As-Shabuny[4] dan Imam Al-Zarqoni[5]. Dan ada juga yang menerima namun dengan syarat, misalnya adalah Dr. Musthofa al-Bagha dan Muhyiddin Mustawa yang mensyaratkan qoul tabi’in yang bukan israiliyyat dan nashroniyyat[6].

2.      Bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur

·         Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ ٢ ( البقرة/2: 2)

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”

Kemudian tanda atau sifat-sifat orang-orang yang bertakwa pada ayat tersebut dijelaskan oleh ayat berikutnya.[7]

·         Tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ٨٢ ( الانعام/6: 82)

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk.”

Kata zhulmun dalam ayat tersebut ditafsiri oleh Nabi Muhammad dengan “syirik”[8]

·         Tafsir Al-Qur’an dengan Penjelasan Sahabat

....ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ ....( النساۤء/4: 43)[9]

“... Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, ...”

Ibnu Abbas r.a menafsiri kata lamastum annisa dengan “jimak”.[10]

·         Tafsir Al-Qur’an dengan penjelasan Tabi’in

فَالْمُغِيْرٰتِ صُبْحًاۙ ٣ ( العٰديٰت/100: 3)

“yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi”

Mujahid bin Jabar, seorang tabi’in, menafsirkan ayat tersebut dengan “kuda-kuda yang dipakai berperang”.

3.      Hukum dan Kualitas Tafsir bi al-Ma’tsur

Tafsir bil ma’tsur berdasar pada riwayat yang shahih, maka kita harus menerima dan mengikutinya[11]. Namun kita harus berhati-hati dalam menerima riwayat. Dalam hal ini para ulama juga mengingatkan untuk tetap meneliti riwayat dalam tafsir bil ma’tsur, apakah riwayat tersebut shahih atau dho’if .

Tafsir bi al-Ma’tsur adalah jenis penafsiran yang paling berkualitas dan paling utama menurut mufassirin. Ibnu Katsir mengatakan bahwa penafsiran yang paling tinggi derajatnya adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Maka dari itu, ketika kita hendak menafsirkan sebuah ayat, pertama-tama kita harus merujuk penjelasan di ayat-ayat Al-Qur’an yang lain. Jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, maka langkah selanjutnya adalah mencari di Hadits Nabi, lalu Qoul Shohabah, dst. Selain itu, keistimewaan lain yang dimiliki oleh tafsir bi al-Ma’tsur adalah minimnya perbedaan atau perdebatan yang muncul.[12]

Di samping kelebihan yang dimilikinya, tafsir bi al-Ma’tsur juga mempunyai kelemahan. Menurut adz-Dzahabi, ada tiga kelemahan tafsir bi al-ma’tsur, yaitu adanya riwayat yang dho’if[13], bercampurnya tafsir dengan israiliyat[14], dan tidak adanya sanad riwayat[15]. Sedangkan menurut Ali Ash-Shobuni dalam kitabnya, al-tibyan fii ulum Al-Qur’an[16], sebab lemahnya tafsir bi al-ma’tsur adalah:

a.       Bercampurnya riwayat yang shahih dengan yang lemah

b.      Banyaknya riwayat-riwayat israiliyyat yang bertentangan dengan akidah Islam

c.   Sebagian kelompok ekstrim yang berdusta dan menyandarkannya kepada sahabat, seperti kelompok Syiah yang menisbatkan riwayaat kepada Sayyidina Ali

d.  Sebagian orang-orang zindiq musuh Islam ingin merusak Islam dengan mencemarkan nama baik nabi dan sahaabat dengan membuat riwayat palsu.

4.        Beberapa Contoh Kitab Tafsir bi Al-Ma’tsur yang tercantum dalam buku Ulumul Qur’an Praktis[17] dan buku Ulumul Qur’an: pengantar ilmu-ilmu Al-Qur’an [18] adalah sebagi berikut:

a.       Bahr al-‘Ulum, karya Abu al-Laits

b.      al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir Al-Qur’an, karya Abu Ishaq

c.       Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Ibn Jarir al-Thabari

d.      Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi

e.       Al-Qur’an al-‘Adhim karya Ibn Katsir

f.       al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir Al-Qur’an karya al-Tsa’alabi

g.      al-Durral-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya Imam Jalaluddin Al-Syuyuthi

h.      Fathul Qadir, karya al-Syaukani

i.        Al-Muharror al-Wajiz fii tafsir al-kitab al-‘Aziz, karya Ibnu ‘Athiyyah al-Andalusi

B.     Tafsir bi Al-Ra’yi

1.      Pengertian Tafsir bi Al-Ra’yi

Kata ar-ra’yu memiliki beberapa makna, yaitu Al-I’tiqod (keyakinan), Al- Qiyas, (analogi), dan Al-Ijtihad.[19] Pada umumnya, ra’yu berarti akal atau ijtihad. Kata ra’yu disini ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yag shohih, kaidah yang murni, dan tepat. Tidaklah dimaksud ra’yu disini dengan menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya[20].

Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah menjelaskan dan memahami Al-Qur’an dengan menggunakan akal yang didasarkan pada dalil-dalil yang shohih dan kaidah-kaidah yang tepat. Ra’yu semata tanpa didasari dalil dan kaidah akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah.[21]

2.      Sejarah dan Pekembangan Tafsir Bi Al-Ra’yi

Tafsir bi al ra’yi mulai berkembang sekitar abad ke-3 H. Uslub tafsir bi al-ra’yi muncul dikalangan ulama-ulama mutakhirin. Sehingga di abad modern lahir lagi menurut tinjauan sosiologis dan sastra arab seperti tafsir Al-manar dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir Thanthawi dengan judul tafsir Al-jawahir. Tafsir bi al-ra’yi ini berkembang sangat pesat sehingga mengalahkan perkembangan dari tafsir bi al-matsur.[22]

Perkembangan ini menimbulkan berkembangnya madzhab dan aliran di kalangan umat Islam. Masing-masing golongan berupaya meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai itu, mereka mencari ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis, kemudian mereka menafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.[23] Kaum fuqoha’ menafsirkan dari sudut hukum fikih oleh Al-Jashash dan Qurtubi. Kaum teolog menafsirkan dari sudut teologis seperti al-kasyaf karangan Zamarkhasyari. Kaum sufi juga menafsirkan Al-Qur’ann menurut pemahaman dan pengalaman spiritual masing-masing, seperti tafsir qur’anul adzim oleh at-tustari dan futuhat makiyah oleh Ibnu Arabi.[24]

Dalam sejarah, dalam bidang tasyri’ ulama-ulama yang getol yang memaknai ijtihad dalam memahami Al-Qur’an adalah ulama-ulama Irak, yaitu pusat Ashabur Ra’yi. Sambutan hangat akan eksitensi tafsir juga datang dari golongan Mu’tazilah dan ahli kalam. Dari aliran inilah lahir tafsir Al-kasyaf dan mafatihul ghoibi. Pembesar Mu’tazilah seperti Al-Jahidi, An-Nadhom, dan Al-Allaf  menggunakan akal dalam menafsiri Al-Qur’an dan dengan berpegang teguh terhadap petunjuk-petunjuk bahasa dan balaghah.[25]

3.      Sumber penafsiran Tafsir Bi Al-Ra’yi

Seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ra’yu dan ijtihad perlu memperhatikan beberapa hal untuk dijadikan sumber penafsiran. Tujuannya agar penafsiranya tidak tergolong al-tafsir bi al-ra’yi yang tidak diperbolehkan atau tercela (al-madhmum). Sumber-sumber tersebut ialah :

a.       Merujuk pada Al-Qur’an

b.      Riwayat-riwayat shohih yang dikutip dari Nabi

c.       Mengambil ucapan para sahabat

d.      Makna asli dari bahasa arab

e.    Menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan tuntutan susunan kalimat dan prinsip-prinsip syariat.[26]

4.      Macam-Macam Tafsir Bi Al-Ra’yi

a.       Tafsir Al-Mahmudah

Yaitu suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syariat, jauh dari kejahilian dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash Al-Qur’an.[27]

b.      Tafsir Al-Madzmumah

Yaitu apabila penafsirannya tidak memenuhi persyaratan, sehingga ia berada dalam kesesatan dan kejahilan[28]. Adapun ciri-cirinya adalah :

1)      Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai.

2)      Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan

3)  Menafsirkan Al-Qur’an dengan semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu.

4)  Mengabaikan aturan-aturan bahasa Arab dan aturan syariat yang menyebabkan penafsirannya menjadi rusak, sesat, dan menyesatkan.[29]

 

5.      Beberapa Contoh Kitab Tafsir Bi Al-Ra’yi

Kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi jumlahnya sangat banyak, diantaranya adalah: Ruh al-ma’ani karya Al-Aalusi, Mafatih al-ghoib karya Ar-Razi, Tafsir al-jalalayn karya Jalal al-Din al-Mahalli dan jalal al-din al-Suyuthy, Tafsir ruh al-bayan karya Imam al-Syekh Ismail Haqqi al-Barusawi, dan Tafsir Lubab at-Ta’wil fii Ma’ani at-Tanzil, karya Al-Khazin.[30]

 

6.      Kelebihan dan Kekurangan Tafsir bi Al-Ra’yi

Menurut Prof. Dr. Amin Suma, kelebihan tafsir bil ra’yi terletak pada kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga dengan tafsir bil ra’yi memungkinkan untuk menjelaskan beberapa ayat yang sebelumnya dipahami secara sempit oleh mufassir, menjadi luas dan dinamis. Seperti halnya kata qalam yang awalnya hanya diartikan sebagai pena, namun dapat diartikan sebagai teknologi di zaman modern seperti mesin ketik atau komputer.[31]

Sedangakan kekurangannya adalah menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Al-Qur’an tidak utuh dan tidak konsisten. Penafsiran dengan pendekatan bil ra’yi tidak menutup kemungkinan menimbulkan kesan subjektif yang dapat memberikan pembenaran terhadap madzhab atau pemikiran tertentu. Serta dengan pendekatan bil ra’yi tidak menutup kemungkinan masuknya cerita-cerita israiliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.

C.     Tafsir bi al-Isyari

Tafsir al-isyari  adalah penafsiran dengan tidak memfokuskan pada makna lahirnya. Al-shobuni mengatakan bahwa tafsir al-isyari  adalah ta’wil  Al-Qur’an dengan menembus makna lahirnya. Makna isyarat itu biasanya ditangkap oleh kelompok khusus yang telah dikaruniai ilmu tersendiri.[32]. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang tafsir al-isyari. Sebagian memperbolehkan dan menganggapnya sebagai tanda kesempurnaan iman, namun sebagian lagi menganggap bahwaa ini sebuah kesesatan. [33]

Dalam pandangan Al-Ghazali, tafsir isyari bukanlah sebuah tafsir bathiniyah sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian orang yang menolaknya. Tafsir Isyari yaitu suatu penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang sufi dengan cara membuka isyarat-isyarat Al-Qur’an melaui latihan-latihan tertentu. [34]

Untuk melihat hakikat terdalam dan mengetahui rahasia-rahasia nash diperlukan bashirah. Menurut Syekh Abdul Qodir dalam kitabnya, Sirr al-Asrar fii Maa Yahtaju ilaihi al-Abrar[35], bashiroh adalah pandangan yang muncul dari mata batin. Bashiroh ini dimiliki oleh orang-orang yang dekat dengan Allah dan taqarrub-nya kepada Allah sangat kuat. Ini merupakan salah satu karunia agung yang Allah berikan kepada kekasih-Nya.

Contoh penafsiran bil Isyari adalah penafsiran Ibnu Abbas tentang surah An-Nashr. Suatu saat beliau dipanggil oleh Sayyidina Umar untuk dimintai pendapat tentang turunnya surah An-Nashr. Ibnu Abbas berpendapat bahwa surah An-Nashr mengisyaratkan tentang ajal nabi Muhammad SAW.[36]

Tafsir al-isyari hanya dapat diterima jika memenuhi lima kriteria, yaitu:

1.    Tidak ada pertentangan dengan makna lahir Al-Qur’an

2.    Tidak mengklaim bahwa maksud yang dimaksud adalah makna batin saja tanpa memperhatikan makna lahirnya, penakwilan tidak terlalu jauh dan berlebihan[37].

3.    Tidak bertentangan dengan hukum syara’ dan akal sehat

4.    Adanya pembenaran syara’ sebagai penguat[38]

Dengan memenuhi semua persyaratan di atas, tafsir al-isyari dapat diterima. Salah satu kelebihan Tafsir isyari adalah menambah wawasan serta pemahaman kita terhadap Al-Qur’an, karena kita dapat mengetahui makna batin yang terkandung dalam suatu ayat. Namun kelemahan tafsir isyari adalah jika penafsiran hanya berdasarkan hawa nafsu, bertentangan dengan akal, makna lahir, dalil-dalil qoth’i dan syariat[39]

Contoh kitab Tafsir al-Isyari: 1)Tafsir At-Tustari karya Sahal At-Tustari, 2) Tafsir As-Sulami karya Abu Abdurrahman Muhammad, dan 3) Tafsir Ibnu ‘Arabi karya Ibnu Arabi.[40]



[1] Manna’ Al-Qattan, Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Wahbah, 1995), hlm. 337

[2] Abdul Mutholib. Izdihar Tafsir Ilmu Tafsir,  Hal. 13.

[3] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, ‘Ilm Tafsir, (Kairo: Dar al-Ma’arif). Hlm. 40

[4] Muhammad Ali Ash-Shobuni, Al-Tibyan fii Ulum Al-Qur’an, (Teheran: Dar Ihsan, 2003). Hlm. 67

[5] Abd al-Azhim al-Zarqoni, Manahil al-‘Irfan fii Ulum Al-Qur’an, (Beirut:Dar al-Kitab al-‘Aroby, 1995), J. 2, hlm. 20

[6] Musthofa al-Bagha, Muhyiddin Mustawa, al-Wadhih fii ‘Ulum Al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Kalam, 1998). Hlm. 236

[7] Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1989). Juz. 1, Hlm. 116

[8] Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000). Hlm. 701

[9] Al-Qur’an, 4:43

[10] Abdul ‘Aziz al-Hamidy, Tafsir ibnu Abbas: Wa Marwiyyatihi fii al-Tafsir, (Mekah: Ummul Quro’) Hlm. 239

[11] M. Afifuddin Dimyati, Mawarid al-Bayan fii ‘Ulum Al-Qur’an, (Sidoarjo: Lisan ‘Arabi, 2016). Hlm. 127

[12] Saifuddin Herlambang, Pengantar Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Samudra Biru, 2020). Hlm. 52

[13] M. Husen adz-Dzhahabi, Al-tafsir wa al-mufassirun, (Kairo: Wahbah) j. 1 Hlm. 115

[14] Ibid, hlm. 121

[15] Ibid, hlm. 145

[16] Muhammad Ali Ash-Shobuni, Al-Tibyan fii Ulum Al-Qur’an, (Teheran: Dar Ihsan, 2003). Hlm. 70

[17] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, (Bogor: IDeA Pustaka Utama, 2003). Hlm. 185

[18] Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an pengantar ilmu-ilmu Al-Qur;an edisi Pertama (Depok : Kencana, 2017),  hal. 143.

[19]Afrizal nur, Muatan Aplikatif Tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi, (Yogyakarta: kalimedia, 2020), hlm. 43.

[20]Muhammad Ali As-shobuni, At-Tibyan fi ulum Al-Qur’an, (Damaskus: Maktabah Al-Ghozali, 1991) terj, H.Aminudin (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm 253

[21]Manna’ Khalil Al-Qattan, mabahis, terj, Mudzakir, (Jakarta : Halim Jaya, 2002) hlm 488.

[22] Rendi fitra yana, fauzi ahmad syawalludin, taufiqurrahman nur siagian, “Tafsir bil ra’yi”, pena cendekia, (Vol 02, No 01, 2020), hal 2-3

[23] Nasrudin Baizan,  Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 46

[24] Al-Dzahabi, Al-tafsir wa al-mufassirun, (Maktabah mus’ab bin umar alislamiyah, 2004) jilid 1, hlm 183

[25] Hasbi Ash Siddieqey, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang;Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm.210

[26] Ahmad zainuddin, tafsir bi al-ra’yi, mafhum, vol. 01, No. 01,mei 2016, hal 10

[27] Ahmad izzan, Metodologi ilmu tafsir (Tafakur:Bandung 2007), hlm 83

[28] Muhammad Arsad Nasution, “Pendekatan dalam Tafsir: Tafsir Bi Al Matsur, Tafsir Bi Al Ra`yi, Tafsir Bi Al Isyari”, Yurisprudentia, (Vol. 4, No. 2, 2018). Hlm. 158

[29] Rendi Fitra Yana, dkk, Tafsir bil Ra’yi, Pena Cendekia, Vol. 2, No. 1, 2020) Hlm. 3

[30] Himmatul Husna, “Klasifikasi Tafsir bi Al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi antara Manna’ Qattan dan Musa’id Al-Tayyar”, Skripsi,  2017. Hlm. 101

[31] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : raja grafindo persada, 2013)

[32] Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an pengantar ilmu-ilmu Al-Qur;an edisi Pertama (Depok : Kencana, 2017),  hal. 160

[33] Ibid, hal. 161

[34] Abd Wahid, “Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali”, Jurnal Ushuludin (16 (2), 2010), hal 123-135

[35] Abdul Qodir Al-Jilani, Sirr al-Asrar fii Maa Yahtaju ilaihi al-Abrar, terj. Zaimul Am, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), Hlm. 72

[36] Nana Mahrani, “Tafsir Al-Isyari”, Jurnal Hikmah, (vol. 14, No. 1, 2017), hal. 59

[37] Andi Putra Ishak, Mustafa Abdullah, “Corak Penafsiran Tafsir Isyari Dalam tafsir Jema’at Ahmadiyah Qadiyan”, Al-Mu’ashirah, (vol. 13, No. 2, 2016), hlm. 101

[38] Muhammad Makmud Rasyid, Aticel Tafsir Al-Isyari

[39] Nana Mahrani, Tafsir Al-Isyari, Jurnal Hikmah, volume 14, No. 1, 2017, hal. 61

[40] Ahmad Sarwat, IlmuTafsir sebuah pengantar,( Lentera Islami:2020), hal. 83

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MUSYKER JQH AL-FURQAN UIN SALATIGA

Awal mula Penetapan Kelender Hijriah oleh Khalifah Umar Bin Khattab

GSQ (Gebyar Seni Qur'aniyy) yang KE XV : "Mewujudkan Generasi Qur'ani yang Unggul dalam Prestasi"